Kenapa Perbedaan IMB dan PBG Penting Dipahami?
Apakah Anda masih bingung dengan istilah IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung)? Pertanyaan ini sering muncul, terutama bagi pemilik rumah, pengembang, maupun kontraktor yang sedang mengurus legalitas bangunan. Banyak yang masih mengira IMB masih berlaku, padahal kini sistem perizinan bangunan telah berubah total.
Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja, IMB resmi digantikan dengan Persetujuan Bangunan Gedung. Artinya, setiap pembangunan baru, renovasi, atau perubahan fungsi bangunan wajib mengikuti aturan PBG.
Kesalahpahaman ini sering membuat masyarakat salah langkah. Ada yang masih mencari cara membuat IMB, padahal dokumen itu sudah tidak diterbitkan lagi. Jika tidak paham perbedaan dan mekanismenya, risiko besar menanti, mulai dari penolakan izin hingga sanksi administratif.
Mengapa IMB Diganti dengan Persetujuan Bangunan Gedung?
Pemerintah mengganti IMB dengan PBG bukan tanpa alasan. IMB selama ini hanya dianggap sebagai izin mendirikan, tanpa fokus mendalam pada aspek teknis keselamatan dan fungsi bangunan.
Sementara itu, PBG lebih komprehensif karena mengatur standar teknis mulai dari struktur, tata ruang, arsitektur, hingga kelayakan fungsi bangunan. Tujuannya bukan hanya legalitas administratif, tetapi juga memastikan bangunan yang berdiri aman, nyaman, dan sesuai aturan tata kota.
Beberapa alasan utama perubahan IMB ke PBG antara lain:
Meningkatkan kepastian hukum bagi pemilik bangunan.
Mengurangi tumpang tindih regulasi di daerah.
Mendorong keselarasan dengan tata ruang dan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).
Menjamin standar keselamatan bangunan, termasuk ketahanan terhadap gempa dan bencana.
Dengan kata lain, Persetujuan Bangunan Gedung bukan sekadar dokumen izin, melainkan jaminan bahwa sebuah bangunan benar-benar laik fungsi.) PBG diatur oleh PP Nomor 16 Tahun 2021, yang memuat ketentuan teknis dan prosedural pengelolaan bangunan gedung di Indonesia. Dokumen ini menjadi dasar hukum utama bagi sistem perizinan baru.
Apa yang Terjadi Jika Tetap Menggunakan IMB?
Banyak pemilik bangunan yang masih berpegang pada IMB lama. Padahal, sejak 2021, dokumen tersebut sudah tidak bisa lagi diajukan. Yang lebih penting, bagi bangunan baru, hanya PBG yang sah secara hukum.
Jika Anda tetap mengacu pada IMB, maka beberapa risiko yang mungkin muncul adalah:
Pengajuan izin ditolak oleh pemerintah daerah.
Sanksi administratif berupa denda atau penghentian pembangunan.
Hambatan dalam proses jual-beli atau pengalihan hak bangunan, karena dokumen legalitasnya tidak sesuai aturan terbaru.
Masalah pada pengajuan SLF (Sertifikat Laik Fungsi) karena syarat utama SLF adalah adanya Persetujuan Bangunan Gedung.
👉 Baca juga artikel kami: SLF (Sertifikat Laik Fungsi): Pemeriksaan Bangunan, Proses & Persyaratan Lengkap untuk memahami keterkaitan antara PBG dan SLF dalam menjamin kelayakan bangunan.
Dengan memahami perbedaan mendasar ini, Anda bisa lebih bijak dalam mengurus dokumen legalitas bangunan agar tidak terkendala di kemudian hari.
Proses Pengajuan Persetujuan Bangunan Gedung
Sejak IMB resmi digantikan, pengajuan PBG dilakukan secara online melalui OSS (Online Single Submission). Proses ini lebih transparan dan terintegrasi dengan sistem pemerintah daerah. Berikut langkah-langkahnya:
1. Persiapan Dokumen
Pemohon perlu menyiapkan dokumen teknis dan administratif, antara lain:
Data pemilik bangunan (KTP, NPWP bila ada).
Data tanah (sertifikat tanah atau bukti kepemilikan sah).
Rencana teknis bangunan (gambar arsitektur, struktur, utilitas).
Dokumen lingkungan (bila diwajibkan sesuai luas bangunan).
2. Pendaftaran Melalui OSS
Masuk ke sistem OSS RBA (Risk Based Approach).
Mengisi formulir pengajuan Persetujuan Bangunan Gedung.
Mengunggah dokumen persyaratan yang sudah disiapkan.
3. Pemeriksaan Dokumen oleh Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah akan menilai kelengkapan dokumen.
Dilakukan evaluasi teknis, termasuk kesesuaian dengan RTRW, KDB, KLB, serta ketentuan tata ruang lain.
Jika ada kekurangan, pemohon diminta melakukan perbaikan.
4. Penerbitan PBG
Setelah dokumen lengkap dan sesuai, PBG akan diterbitkan.
Dokumen ini menjadi landasan hukum pembangunan.
PBG juga menjadi syarat untuk mengurus SLF (Sertifikat Laik Fungsi) setelah bangunan selesai.
Konsekuensi Jika Tidak Mengurus PBG
Mengabaikan PBG dapat menimbulkan berbagai masalah hukum, administratif, maupun finansial. Berikut beberapa konsekuensinya:
1. Sanksi Administratif
Pemerintah daerah dapat menjatuhkan denda.
Pembangunan dapat dihentikan sementara sampai dokumen terpenuhi.
Dalam kasus tertentu, bangunan bisa dibongkar jika terbukti melanggar aturan tata ruang.
2. Hambatan Legalitas
Tanpa PBG, pemilik tidak bisa mendapatkan SLF (Sertifikat Laik Fungsi).
Bangunan dianggap tidak memiliki dasar hukum sah.
Sulit untuk mengurus dokumen turunan lain seperti sambungan listrik skala besar atau izin operasional bisnis.
3. Kesulitan Transaksi Properti
Bangunan tanpa PBG akan sulit dijual, diagunkan ke bank, atau dialihkan kepemilikannya.
Investor maupun pembeli biasanya menghindari bangunan yang tidak memiliki dokumen legal lengkap.
4. Risiko Gugatan Hukum
Warga atau pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan gugatan hukum.
Potensi kerugian finansial akan lebih besar dibandingkan mengurus PBG sejak awal.
👉 Singkatnya, Persetujuan Bangunan Gedung bukan sekadar formalitas, tetapi perlindungan hukum bagi pemilik. Mengurus izin nya sejak awal jauh lebih murah dan aman dibanding menghadapi sanksi di kemudian hari.